Wahabi: “Berapa kali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum merayakan maulid?”
Sunni: “Kalau merayakan maulid dengan berpuasa, maka telah
menjadi sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tidak bisa dihitung
berapa kali. Tapi kalau maksudnya merayakan maulid dengan acara yang kami
lakukan memang tidak pernah.”
Wahabi: “Kalau tidak pernah merayakan maulid seperti yang
kalian rayakan mengapa kalian tidak cukup berpuasa saja, tanpa perayaan yang
beliau tidak pernah mencontohkan?”
Sunni: “Pertanyaan Anda justru sejak awal salah dan tidak
ilmiah. Sehingga akhirnya Anda mengeluarkan keputusan hukum yang salah pula.
Pertanyaan awam Anda yang selalu diulang-ulang kepada kaum awam adalah:
Berapa kali Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam merayakan
maulid?
Berapa kali Khalifah Abu Bakar merayakan maulid?
Berapa kali Khalifah Umar merayakan maulid? Dan seterusnya.
Inilah rangkaian dari banyak pertanyaan Anda yang bodoh dan
disebarkan kepada kaum Muslimin untuk membodohi mereka dengan kedok kembali
kepada al-Qur’an dan Sunnah.”
Wahabi: “Kok bisa, pertanyaan-pertanyaan kami dianggap salah
dan suatu kebodohan?”
Sunni: “Dalam teori ilmu ushul fiqih, seorang
penuntut/penggugat (mu’taridh) tidak boleh menanyakan dalil khusus kepada
mustadil (ulama yang berdalil), misalnya harus dalil dari al-Qur’an dan hadits
secara nash (tekstual). Tuntutan semacam ini adalah kebodohan. Karena di dalam
agama, dalil itu ada banyak macamnya.
Dalil-dalil yang disepakati oleh seluruh
ulama ada empat; al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Sementara dalil-dalil yang
masih diperselisihkan masih banyak lagi, seperti mashalih mursalah, saddu
al-dzari’ah, istihsan, ‘amal ahl al-madinah, fatwa shahabi, dan lain-lain.
Nah,
karena dalil dalam pengambilan hukum tidak hanya terbatas pada al-Qur’an dan
Sunnah, tetapi juga mencakup terhadap Ijma’ dan Qiyas, maka ketika seorang
ulama menjawab suatu persoalan hukum dengan dalil Ijma’ dan Qiyas, jawabannya
dapat diterima dan harus dihargai.”
Wahabi: “Mana dalilnya, bahwa fatwa ulama yang tidak
berdasarkan nash al-Qur’an dan Sunnah harus diterima?”
Sunni: “Fatwa ulama yang tidak berdasarkan nash al-Qur’an
dan Sunnah harus diterima apabila memiliki dalil yang lain, seperti Ijma’ dan
Qiyas, atau selain Ijma’ dan Qiyas menurut ulama yang mengakuinya.
Ini yang
disebut dengan proses ijtihad atau istinbath. Hal tersebut sesuai dengan
hadits-hadits berikut ini:
عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رضي الله عنه أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللهِ
صلى الله عليه وسلم يَقُولُ إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ
فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ. رواه
البخاري
“Apabila seorang hakim melakukan ijtihad, lalu ijtihadnya
benar, maka ia memperoleh dua pahala. Dan apabila melakukan ijtihad, lalu
ijtihadnya keliru, maka ia memperoleh satu pahala.” (Al-Bukhari [6805]).
Dalam hadits di atas, jelas sekali keutamaan ulama yang
mengeluarkan hukum berdasarkan ijtihad, ketika tidak ada nash dalam al-Qur’an
dan hadits, apabila hasil ijtihadnya benar, maka mendapatkan dua pahala, dan
jika salah maka mendapatkan satu pahala.
Dalam hadits yang sangat populer juga disebutkan:
عَنْ أُنَاسٍ مِنْ أَهْلِ حِمْصَ مِنْ أَصْحَابِ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ
مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ أَنَّ رَسُولَ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- لَمَّا أَرَادَ
أَنْ يَبْعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ قَالَ « كَيْفَ تَقْضِى إِذَا عَرَضَ لَكَ
قَضَاءٌ ». قَالَ أَقْضِى بِكِتَابِ اللهِ. قَالَ « فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِى
كِتَابِ اللهِ ». قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللهِ -صلى الله عليه وسلم-. قَالَ «
فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِى سُنَّةِ رَسُولِ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- وَلاَ فِى
كِتَابِ اللهِ ». قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِى وَلاَ آلُو. فَضَرَبَ رَسُولُ اللهِ -صلى
الله عليه وسلم- صَدْرَهُ وَقَالَ « الْحَمْدُ للهِ الَّذِى وَفَّقَ رَسُولَ
رَسُولِ اللهِ لِمَا يُرْضِى رَسُولَ اللهِ ». رواه أبو داود والترمذي وأحمد
Dari beberapa orang penduduk Himash dari kalangan sahabat
Mu’adz bin Jabal, bahwa ketika Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam hendak
mengutus Mu’adz ke Yaman (sebagai Qadhi), beliau bersabda: ”Bagaimana cara kamu
memutuskan hukum, apabila menghadapi suatu persoalan?” Mu’adz menjawab: ”Aku
akan memutuskan berdasarkan Kitabullah.” Beliau bertnya: ”Apabila kamu tidak
menemukan keputusan dalam Kitabullah? ” Mu’adz menjawab: ”Berdasarkan Sunnah
Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam.” Beliau bertanya: ”Apabila kamu tidak
menemukan dalam Sunnah Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam dan tidak
menemukan pula dalam Kitabullah?” Mu’adz menjawab: ”Aku berijtihad dengan
pendapatku secara sungguh-sungguh”. Lalu Rasulullah shallallahu ’alaihi
wasallam memukul dada Mu’adz seraya bersabda: ”Segala puji bagi Allah yang
telah memberikan pertolongan kepada utusan Rasulullah pada apa yang diridhai
oleh Allah.” (HR. Al-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad).
Perhatikan dalam hadits di atas, bagaimana Rasulullah
shallallahu ’alaihi wasallam mendidik umatnya, ketika menghadapi persoalan yang
tidak terdapat nash dalam al-Qur’an dan hadits, agar melakukan ijtihad, dan hal
itu termasuk diridhai oleh Allah.
Dalam hadits di atas, ketika Mu’adz bin Jabal
ditanya tentang persoalan yang tidak ada nash dalam al-Qur’an dan hadits,
beliau tidak menjawab, aku akan menghukumi bid’ah kepada persoalan tersebut,
karena setiap bid’ah itu sesat dan masuk neraka.
Tetapi Mu’adz akan berijtihad
dengan sungguh-sungguh. Semua hukum tidak bisa didalili dengan hadits kullu
bid’atin dholalah.
Dalam hadits lain, juga diriwayatkan:
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ رَجُلٌ مِنْ الأَنْصَارِ
يَؤُمُّهُمْ فِي مَسْجِدِ قُبَاءٍ وَكَانَ كُلَّمَا افْتَتَحَ سُورَةً يَقْرَأُ
بِهَا لَهُمْ فِي الصَّلاةِ مِمَّا يُقْرَأُ بِهِ افْتَتَحَ بِقُلْ هُوَ اللهُ
أَحَدٌ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْهَا ثُمَّ يَقْرَأُ سُورَةً أُخْرَى مَعَهَا وَكَانَ
يَصْنَعُ ذَلِكَ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ فَكَلَّمَهُ أَصْحَابُهُ فَقَالُوا إِنَّكَ
تَفْتَتِحُ بِهَذِهِ السُّورَةِ ثُمَّ لا تَرَى أَنَّهَا تُجْزِئُكَ حَتَّى
تَقْرَأَ بِأُخْرَى فَإِمَّا تَقْرَأُ بِهَا وَإِمَّا أَنْ تَدَعَهَا وَتَقْرَأَ
بِأُخْرَى فَقَالَ مَا أَنَا بِتَارِكِهَا إِنْ أَحْبَبْتُمْ أَنْ أَؤُمَّكُمْ
بِذَلِكَ فَعَلْتُ وَإِنْ كَرِهْتُمْ تَرَكْتُكُمْ وَكَانُوا يَرَوْنَ أَنَّهُ
مِنْ أَفْضَلِهِمْ وَكَرِهُوا أَنْ يَؤُمَّهُمْ غَيْرُهُ فَلَمَّا أَتَاهُمْ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرُوهُ الْخَبَرَ فَقَالَ يَا
فُلانُ مَا يَمْنَعُكَ أَنْ تَفْعَلَ مَا يَأْمُرُكَ بِهِ أَصْحَابُكَ وَمَا
يَحْمِلُكَ عَلَى لُزُومِ هَذِهِ السُّورَةِ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ فَقَالَ إِنِّي
أُحِبُّهَا فَقَالَ حُبُّكَ إِيَّاهَا أَدْخَلَكَ الْجَنَّةَ. (رواه البخاري).
“Dari Anas radhiyallahu ‘anhu: “Seorang laki-laki dari kaum
Anshar selalu menjadi imam mereka di Masjid Quba’. Kebiasaannya, setiap ia akan
memulai membaca surat dalam shalat selaku imam mereka, ia akan mendahului
dengan membaca surah Qul Huwallaahu ahad sampai selesai, kemudian membaca surah
yang lain bersamanya. Dan ia melakukan hal itu dalam setiap raka’at. Lalu para
jamaahnya menegurnya dan berkata: “Anda selalu memulai dengan surah
(al-Ikhlash) ini, kemudian Anda merasa tidak cukup sehingga membaca surah yang
lain pula. Sebaiknya Anda membaca surah ini saja, atau Anda tinggalkan dan
membaca surah yang lain saja.” Laki-laki itu menjawab: “Aku tidak akan
meninggalkan surah al-Ikhlash ini dalam setiap raka’at jika kalian senang aku
menjadi imam kalian, aku tetap begitu. Jika kalian keberatan, akan berhenti
menjadi imam kalian.” Sementara para jamaah memandang laki-laki itu orang yang
paling utama di antara mereka. Mereka juga tidak mau jika selain laki-laki itu
yang menjadi imam shalat mereka. Maka ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
datang kepada mereka, mereka pun menceritakan perihal imam tersebut. Lalu
beliau bertanya kepada laki-laki itu: “Wahai fulan, apa yang menghalangimu
untuk melakukan apa yang diperintahkan oleh sahabat-sahabatmu dan apabula yang
mendorongmu membaca surat al-Ikhlash ini secara terus menerus dalam setiap
raka’at?” Ia menjawab: “Aku sangat mencintainya.” Beliau bersabda: “Cintamu
pada surah ini akan mengantarmu masuk surga.” (HR. al-Bukhari).
Perhatikan hadits di atas, seorang laki-laki yang menjadi
imam kaum Anshar di Masjid Quba’, memiliki kebiasaan yang berbeda dengan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu membaca surah al-Ikhlash dalam
setiap raka’at shalatnya ketika menjadi imam, sebelum membaca surah yang lain.
Ketika hal tersebut dilaporkan kaumnya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam, beliau justru bertanya, apa dasarnya membuat kebiasaan yang berbeda
dengan orang kebanyakan itu. Lalu laki-laki tersebut menjawab, dasarnya karena
sangat mencintai surah al-Ikhlash. Atas dasar inilah, laki-laki tersebut
berijtihad untuk membaca surah al-Ikhlash dalam setiap raka’at.
Dan ketika
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendengar alasannya, beliau justru
memberinya kabar gembira, bahwa ia akan masuk surga karenanya.
Coba Anda
perhatikan, ketika laki-laki tersebut mempunyai kebiasaan dalam shalat yang
berbeda dengan sunnah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak langsung
menegurnya dengan berkata: “kullu bid’atin dholalah, wa kullu dholalatin
finnar.” Karena hadits ini tidak bisa diapakai untuk semua persoalan yang tidak
ada nash nya dalam al-Qur’an dan hadits.
Dalam persoalan-persoalan yang tidak
ada nashnya dalam al-Qur’an dan hadits, masih banyak ruang untuk berijtihad,
dan tidak berdasarkan hadits kullu bid’atin dholalah.
Dalam hadits lain juga diriwayatkan:
عن ابْنَ عَبَّاسٍ قَالَ أَتَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَصَلَّيْتُ خَلْفَهُ فَأَخَذَ بِيَدِي
فَجَرَّنِي فَجَعَلَنِي حِذَاءَهُ فَلَمَّا أَقْبَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى صَلاتِهِ خَنَسْتُ فَصَلَّى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ لِي مَا شَأْنِي أَجْعَلُكَ حِذَائِي
فَتَخْنِسُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ أَوَيَنْبَغِي لِأَحَدٍ أَنْ يُصَلِّيَ
حِذَاءَكَ وَأَنْتَ رَسُولُ اللهِ الَّذِي أَعْطَاكَ اللهُ قَالَ فَأَعْجَبْتُهُ
فَدَعَا اللهَ لِي أَنْ يَزِيدَنِي عِلْمًا وَفَهْمًا. رواه أحمد وابو يعلى وصححه
الحاكم.
Ibnu Abbas berkata: “Aku mendatangi Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam pada akhir malam, lalu aku shalat (bermakmum) di belakang
beliau. Lalu beliau mengambil tanganku, menarikku, hingga menjadikanku lurus
dengan beliau. Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam konsentrasi pada
shalatnya, aku mundur. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat.
Ketika beliau selesai, beliau bertanya: “Kenapa diriku? Aku luruskan kamu
denganku, kok malah mundur.” Aku menjawab: “Wahai Rasulullah, apakah pantas
bagi seseorang menunaikan shalat, berdiri lurus dengan engkau, sedangkan engkau
adalah Rasulullah yang telah diberi anugerah oleh Allah.” Lalu beliau kagum
dengan jawabanku. Lalu beliau berdoa kepada Allah agar menambah ilmu dan
kecerdasanku.” (HR. Ahmad dan Abu Ya’la. Dan al-Hakim menilainya
shahih).
Perhatikan dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam meluruskan shaf Ibnu Abbas dengan beliau, karena menjadi
makmum sendirian, tanpa bersama jamaah lain. Tapi kemudian Ibnu Abbas mundur
lagi.
Setelah selesai shalat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, justru
bertanya, apa dasar Ibnu Abbas tidak mau lurus dengan beliau dan justru mundur?
Setelah Ibnu Abbas menjawab, bahwa dasar beliau mundur, adalah karena merasa
tidak pantas jika harus lurus dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
yang derajatnya sangat agung, beliau justru mengagumi dasar tersebut dan
mendoakannya agar bertambah alim dan cerdas.
Dalam kejadian tersebut,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak langsung marah kepada Ibnu Abbas
dan tidak pula berkata kullu bid’atin dholalah wa kullu dholalatin finnar.
Tetapi masih menanyakan dasarnya apa? Hadits kullu bid’atin dholalah, tidak
bisa dijadikan dalil setiap persoalan hukum yang tidak ada nash nya dalam
al-Qur’an dan hadits. Setiap persoalan ada dalilnya sendiri-sendiri.
Inilah sebagian dalil yang membuktikan kesalahan
pertanyaan-pertanyaan kaum Wahabi di atas. Pertanyaan-pertanyaan semacam itu,
tidak ilmiah. Hukum perayaan maulid telah difatwakan oleh para ulama besar,
ratusan tahun sebelum lahirnya aliran Wahabi.
Ketika perayaan maulid ditanyakan
hukumnya kepada para ulama ahli hadits, mereka justru berpendapat positif dan
menganjurkan untuk melakukannya. Mereka antara lain al-Hafizh Ibnu Dihyah
al-Kalbi, al-Hafizh Ibnu al-Jauzi, al-Hafizh Ibnu Katsir, al-Hafizh al-’Iraqi,
al-Hafizh Ibnu Nashiruddin al-Dimasyqi, al-Hafizh Ibnu Hajar, al-Hafizh
al-Sakhawi, al-Hafizh al-Suyuthi dan lain-lain. Mereka semuanya ahli hadits,
dan hafal di luar kepala hadits kullu bid’atin dholalah.
Wahabi: ”Terus kalau memang acara maulid ada dalilnya, apa
saja dalilnya?”
Sunni: ”Dalilnya banyak sekali. Antara lain:
Dalil pertama) Allah subhanahu wata’ala berfirman:
وما أرسلناك إلا رحمة للعالمين
“Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi)
rahmat bagi semesta alam”. (QS. al-Anbiya’ : 107)
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:
إِنَّمَا أَنَا رَحْمَةٌ مُهْدَاةٌ. صححه الحاكم (1/91) ووافقه الحافظ
الذهبي.
“Aku hanyalah rahmat yang dihadiahkan”. (Hadits sahih
menurut al-Hakim (1/91) dan al-Hafizh al-Dzahabi.
Dengan demikian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
adalah al-rahmat al-‘uzhma (rahmat yang paling agung) bagi umat manusia.
Sedangkan Allah subhanahu wata’ala telah merestui kita untuk merayakan lahirnya
rahmat itu. Dalam hal ini Allah subhanahu wata’ala berfirman:
قل بفضل الله وبرحمته فبذلك فليفرحوا
“Katakanlah: “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah
dengan itu mereka bergembira”. (QS. Yunus : 58).
Ibn Abbas menafsirkan ayat ini dengan, “Dengan karunia Allah
(yaitu ilmu) dan rahmat-Nya (yaitu Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam),
hendaklah dengan itu mereka bergembira”. (Al-Hafizh al-Suyuthi, al-Durr
al-Mantsur, 2/308).
Dengan demikian merayakan maulid, berarti mengamalkan
dalil-dalil di atas.
Dalil Kedua) Allah subhanahu wata’ala juga berfirman:
وكلا نقص عليك من أنباء الرسل ما نثبت به فؤادك
“Dan semua kisah dari rasul-rasul kami ceritakan kepadamu,
ialah kisah-kisah yang dengannya kami teguhkan hatimu.” (QS. Hud : 120).
Ayat ini menegaskan bahwa penyajian kisah-kisah para rasul
dalam al-Qur’an adalah untuk meneguhkan hati Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dan tentu saja kita yang dha’if dewasa ini lebih membutuhkan peneguhan hati
dari beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, melalui penyajian sirah dan biografi
beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dalam perayaan maulid, bukankah membacakan
dan menguraikan sirah beliau?
Dalil Ketiga) Sisi lain dari perayaan maulid Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam adalah, mendorong kita untuk memperbanyak shalawat
dan salam kepada beliau sesuai dengan firman Allah:
إن الله وملائكته يصلون على النبي يا أيها الذين آمنوا صلوا عليه
وسلموا تسليما
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat
untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk nabi dan
ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. al-Ahzab : 56).
Dan sesuai dengan kaedah yang telah ditetapkan, bahwa sarana
yang dapat mengantar pada anjuran agama, juga dianjurkan sebagaimana diakui
oleh al-‘Utsaimin dalam al-Ibda’ (hal. 18). Sehingga perayaan maulid menjadi
dianjurkan.
Dalil Keempat) Allah subhanahu wata’ala juga berfirman:
قال عيسى ابن مريم اللهم ربنا أنزل علينا مائدة من السماء تكون لنا
عيدا لأولنا وآخرنا وآية منك وارزقنا وأنت خير الرازقين
“Isa putera Maryam berdoa: “Ya Tuhan kami, turunkanlah
kiranya kepada kami suatu hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan
menjadi hari raya bagi kami yaitu orang-orang yang bersama kami dan yang datang
sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau; beri rezkilah kami, dan
Engkaulah pemberi rezki yang paling Utama”. (QS. al-Ma’idah: 114).
Dalam ayat ini, ditegaskan bahwa turunnya hidangan dianggap
sebagai hari raya bagi orang-orang yang bersama Nabi Isa ‘alaihissalam dan
orang-orang yang datang sesudah beliau di bumi agar mengekspresikan kegembiraan
dengannya.
Tentu saja lahirnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai
al-rahmat al-‘uzhma lebih layak kita rayakan dengan penuh suka cita dari pada
hidangan itu.”
Wahabi: ”Mengapa para ulama kami kaum wahabi tidak tahu
dengan dalil-dalil di atas?”
Sunni: ”Mereka membaca al-Qur’an, tetapi al-Qur’an tidak
sampai melewati kerongkongan mereka, al-Qur’an sebatas sampai di mulut, tidak
meresap di hati mereka. Hati mereka buta.
Sebagaimana diterangkan dalam
hadits-hadits shahih, tentang ciri-ciri kaum Khawarij. Anda tahu bahwa mufti
wahabi meskipun membid’ahkan dan mensyirikkan perayaan maulid dan mengenang
biografi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka justru mewajibkan mengenang
perjalanan hidup dan perjuangan pendiri
Wahabi, Muhammad bin Abdul Wahhab
an-Najdi.”
Wahabi: ”Ah masak begitu.”
Sunni: ”Silahkan Anda buka, Majmu’ Fatawa wa Maqalat
Mutanawwi’ah, buku himpunan fatwa mufti wahabi yang tunanetra, Syaikh Ibnu Baz,
pada juz 1 halaman 178, beliau mengharamkan dan membid’ahsesatkan perayaan
maulid. Tapi pada juz 1 halaman 382, dia berkomentar tentang acara tahunan
wahabi yang berjudul Usbu’ al-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab (sepekan
kewajiban mengenang dan menghayati sejarah perjalanan hidup dan jihad Syaikh
Muhammad bin Abdil Wahhab), dia mewajibkan. Dia berkata:
كلمة في أسبوع الشيخ محمد بن عبد الوهاب رحمه الله
أيها الإخوة الكرام, إن الاجتماع لدراسة مذهب السلف الصالح ومنه دعوة
الشيخ محمد بن عبد الوهاب , وتعريف الناس بها, … أمر واجب ومن أعظم القرب إلى
الله; لأنه تعاون على الخير, وتشاور في المعروف, وبحث للوصول إلى الأفضل, (الشيخ
ابن باز، مجموع فتاوى ومقالات متنوعة، ج 1 ص
382).
Prakata Tentang Sepekan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Saudara-saudara yang mulia. Sesungguhnya berkumpul untuk
mempelajari madzhab salaf yang saleh, antara lain mempelajari dakwahnya Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab dan mengenalkannya kepada masyarakat … adalah perkara
yang wajib dan termasuk ibadah sunnah yang paling agung kepada Allah, karena
sesungguhnya hal itu tolong menolong atas kebaikan, tukar pikiran dalam
kebaikan dan kajian untuk mencapai pada yang lebih utama.” (Ibn Baz, Majmu
Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, juz 1 hlm 382).
Coba perhatikan fatwa di atas, berkumpul untuk mempelajari
perjalanan hidup dan dakwah pendiri wahabi termasuk wajib dan ibadah yang
paling agung. Mengapa memperingati kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
malah bid’ah dan haram. Alangkah konyolnya mufti wahabi tersebut dalam
berfatwa.”
